
Sebentar
lagi kaum kristiani akan merayakan hari besar mereka, ulang tahun kelahiran
anak tuhan mereka. Berbagai pernak-pernik sudah banyak menghiasi di beberapa
tempat perbelanjaan. Boleh jadi, kemeriahannya sama seperti saat hari raya kaum
muslimin, Idul Fitri. Tidak berhenti di situ, berbagai event juga diadakan
dalam rangka merayakan hari besar mereka. Dan terkadang di sela-sela acara ada
pembagian hadiah baik berupa kue, roti, permen, atau lainnya.
Kita
yang hidup di masyarakat boleh jadi memiliki tetangga yang beragama Kristen. Di
hari besar mereka tersebut, terkadang ia bebagi kebahagiaan dengan mengirimkan
makanan atau kue ke rumah kita. Seperti yang ditanyakan dalam forum Al-Islam
Sual wa Jawab, "Tetanggaku seorang wanita Amerika beragama Kristen, ia
dan keluarganya mengirimkan hadiah kepadaku saat hari Natal. Saya tidak kuasa
menolak hadiah ini sehingga ia tidak marah kepadaku. Apakah saya boleh menerima
hadiah-hadiah ini sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
pernah menerima hadiah dari orang kafir?"
Pertanyaan
di atas dapat dijawab sebagai berikut:
Pertama, Pada dasarnya boleh menerima hadiah dari orang kafir untuk
melunakkan hatinya dan mengajaknya masuk Islam. Sebagaimana Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam pernah menerima hadiah dari sebagian orang kafir seperti
dari Muqauqis dan selainnya.
Imam
al-Bukhari membuat bab dalam Shahihnya, "Bab Menerima Hadiah Dari
Orang-Orang Musyrik". Beliaurahimahullah berkata, Abu Hurairah Radhiyallahu
'Anhu berkata, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam: Ibrahim 'Alaihis
salamberhijrah dengan Sarah lalu masuk ke dalam satu desa yang di dalamnya
ada seorang raja atau penguasa lalim, lalu sang raja berkata, ‘Berikan dia
(Sarah) hadiah’. Dihadiahkan kepada NabiShallallahu 'Alaihi Wasallam
seekor daging kambing yang sudah dibubuhi racun. Abu Humaid berkata: Raja Ailah
(Palestina) memberi hadiah seekor keledai baghal putih kepada Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam dan Beliau (membalas) dengan memakaikan burdah kepada raja
itu serta menetapkan baginya untuk tetap berkuasa atas negerinya."
Kedua, seorang muslim boleh memberi hadiah
kepada orang kafir atau musyrik dengan tujuan untuk menta'lif (melunakkan)
hatinya dan menarik minatnya masuk Islam. Terlebih jika ia masih kerabat atau
tetangga. Umar bin Khathab pernah memberikan hadiah sebuah baju kepada
saudaranya yang musyrik semasa di Makkah." (HR. Al-Bukhari, no. 2619)
Tetapi
tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari
besar mereka, karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama
(ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil. Dan apabila hadiah itu
berupa sesuatu yang digunakan untuk perayaan seperti makanan, lilin, dan
semisalnya maka keharamannya tentu lebih besar. Sehingga sebagian ulama
menghukuminya sebagai perbuatan kufur.
Imam
Zaila'i al-Hanafi berkata dalam Tabyin al-Haqaiq (6/228): "Dan
memberi (hadiah) dengan nama Nairuz dan Festifalnya itu tidak boleh. Maksudnya:
hadiah-hadiah
Abu
Hafs al-Kabir rahimahullah berkata: 'Kalau ada seseorang beribadah
kepada Allah 50 tahun, lalu ia datang pada perayaan hari Nairuz dan memberikan
hadiah satu telur kepada sebagian orang musyrik dengan tujuan mengagungkan hari
tersebut, maka sungguh ia telah kafir dan terhapus semua amalnya.'
Pengarang
al-Jami' al-Asghar berkata: 'Jika seorang muslim memberikan hadiah kepada
muslim lainnya pada hari Nairuz, bukan berniat mengagungkan hari tersebut,
tetapi sebatas kebiasaan pada sebagian masyarakat, maka ia tidak kafir. Tetapi
selayaknya ia tidak melakukannya dengan menghususkan hari tersebut. Ia
melakukannya sehari sebelumnya atau sesudahnya supaya tidak menyerupai
(tradisi) kaum tersebut. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah
bersabda: 'Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka.'
Ia
berkata lagi dalam al-Jami' al-Asghar: Ada seorang laki-laki membeli sesuatu
pada hari Nairuz yang tak pernah membelinya sebelum itu. Maka jika ia bertujuan
mengagungkan hari tersebut sebagaimana kaum musyrikhn mengagungkannya, ia telah
kafir. Jika ia berniat sebatas untuk makan, minum, dan bersenang-senang
dengannya maka ia tidak kafir.)" selesai.
Disebutkan
dalam kitab Mazhab Maliki, al-Taj wa al-Iklil (4/319): Ibnul Qasim tidak
menyukai memberikan hadiah kepada orang Nashrani pada hari rayanya sebagai
bentuk balas budi, dan yang semisalnya adalah memberikan hadiah daun kurma
kepada orang Yahudi karena hari rayanya." Selesai.
Disebutkan
lagi dalam al-Iqna' (kitab mazhab Hambali): "Dan diharamkan
menyaksikan/menghadiri hari raya Yahudi dan Nashrani dan berjualan kebutuhan
mereka di dalamnya serta memberikan hadiah kepada mereka karena hari
rayanya." Selesai.
Bahkan
seorang muslim tidak dibolehkan memberika hadiah kepada muslim lainnya karena
hari raya tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pendapat ulama
Hanafi.
Ketiga, adapun menerima hadiah dari orang kafir pada hari rayanya,
maka tidak apa-apa. Itu tidak terkategori ikut serta dan mengakui perayaan
tersebut. Tapi diterima atas dasar berbuat baik, melunakkan hatinya dan
mendakwahinya untuk masuk Islam. Allah Ta'ala membolehkan berbuat baik dan adil
terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin daam firman-Nya,
لَا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ
يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Allah
tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada emerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
(QS. Al-Mumtahanah: 8)
Tetapi
berbuat baik dan adil tidak berarti berkasih sayang dan mencintai. Karena tidak
boleh mencintai dan berkasih sayang dengan orang kafir serta tidak menjadikannya
sahabat dan teman dekat. Allah Ta'ala berfirman,
"Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau
pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang
daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka
dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah
golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan
yang beruntung." (QS. Al-Mujadilah: 22)
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad),
karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada
kebenaran yang datang kepadamu. . . ." (QS. Al-Mumtahanah: 1)
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu
orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu.
Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati
mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami),
jika kamu memahaminya." (QS. Ali Imran: 118)
Allah
'Azza wa Jalla berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim." (QS. Al
Maidah: 51)
وَلا
تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ
دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ
"Dan
janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu
disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun
selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan."
(QS. Hudd: 113) dan masih banyak lagi dalil-dalil lain yang mengharamkan
berkasih saying dan berkawan karib dengan orang kafir sebagai.
Syaikhul
Islam al-Harrani berkata, "Adapun menerima hadiah dari mereka pada hari raya
mereka maka telah kami jelaskan riwayat dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
'Anhu, dibawakan hadiah Nairuz (tahun baru Persia) kepadanya, lalu ia
menerimanya.
Diriwayatkan
dari Ibnu Abi Syaibah, ada seorang wanita yang meminta kepada Aisyah. Ia
berkata, "Pada kami ada wanita-wanita yang menyusui dari kalangan Majusi,
mereka memiliki hari raya, lalu mereka memberikan hadiah kepada kami. Maka
Aisyah menjawab: Adapun yang dsiembelih untuk acara hari tersebut maka
janganlah kalian memakannya. Tetapi makanlah dari hasil tanaman mereka."
Dari
Abu Barzah, ia memiliki tetangga orang-orang Majusi, mereka memberikan hadiah
kepadanya pada hari Nairuz dan festifal mereka. Kemudian ia berkata kepada
keluarganya: 'Jika berbentuk buah-buahan, maka makanlah. Dan yang selain itu
maka jangan kalian memakannya.'
Semua
ini menunjukkan tidak apa-apa menerima hadiah dari orang-orang kafir pada hari
raya mereka yang tidak memiliki pengaruh terhadap perayaan hari raya mereka.
Bahk`n pada dasarnya, menerima hadiah dari mereka sama saja, baik pada saat
hari raya mereka atau bukan, karena dalam menerima hadiah tidak ada unsur
menolong mereka atas kemeriahan syiar-syiar kekafiran mereka. Hanya saja Ibnu
Taimiyah memperingatkan, sembelihan ahli kitab pada dasarnya halal, kecuali apa
yang mereka sembelih untuk perayaan hari rayanya, maka tidak boleh memakanya.
Beliau berkata, "Sesungguhnya boleh memakan makanan ahli kita pada hari
raya mereka, baik dengan jual-beli, hadiah, atau lainnya selain yang mereka
sembelih untuk hari raya." (al-Iqtidha': 1/251)
Kemudian
beliau menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad yang berpendapat, tidak halal
memakannya walau tidak disebut nama selain Allah Ta'ala atasnya. Beliau rahimahullah
juga menguatkan kesimpulannya tersebut pada riwayat yang berasal dari Aisyah
dan Abdullah bin Umar.
Pada
ringkasnya, boleh menerima hadiah dari tetangga yang nashrani pada hari raya
mereka dengan beberapa syarat:
Pertama, hadiah ini tidak berupa sembelihan (daging hewan) yang
disembelih untuk merayakan hari raya tersebut.
Kedua, hadiah tersebut tidak termasuk yang digunakan untuk
bertasyabbuh pada hari raya mereka, seperti lilin, pakain sinterklaus, trompet,
dan asesoris natal lainnya.
Ketiga, hendaknya dijelaskan kepada anggota keluarga muslim
hakikat aqidah al-wala' dan bara' sehingga tidak tertanam rasa cinta terhadap
hari raya ini atau berharap hadiah dari orang Kristen saat natal.
Keempat, dalam menerima hadiah harus diniatkan untuk melunakkan
hatinya dan membuat ia tertarik kepada Islam, bukan karena cinta dan sayang
kepada mereka.
Kelima, dalam menolak hadiah yang tidak boleh diterima harus
disertakan penjelasan sebab menolaknya. Seperti disampaikan, kami menolak
hadiah Anda karena itu berupa sembelihan yang dipotong untuk perayaan Natal,
dan ini tidak halal bagi kami. Atau dengan mengatakan, yang berhak menerima ini
adalah orang yang ikut dalam perayaan, sedangkan kami tidak merayakan hari raya
ini, ini tidak diperintahkan dalam agama kami, ini bersinggungan dengan masalah
keyakinan yang tidak dibenarkan dalam agama kami dan semisalnya yang bisa
menjadikan masukan kepadanya sebagai bagian dakwah kepada Islam. Dan seorang
muslim wajib berbangga dan merasa mulia dengan agamanya, menerapkan ajarannya,
tidak boleh malu menyampaikan kebenaran agamanya atau berpura-pura menganggap
baik agama selainnya. Karena, kepada Allah Ta'ala seharunya kaum muslimin itu
malu. Wallahu Ta'ala A'lam.
*(Sumber: Artikel ditulis oleh
Alumnus Ma'had 'Ali Al-Islam, Ust. Badrul Tamam, dan dikutip dari situs
Voa-islam.com)