Pengirim :
Subhan
Sebagai rakyat kecil, kami
sering didesak membayar pajak. Sementara banyak mafia menggelapkan
pajak. Bagaimana hukum pajak dalam Islam?
Jawab :
Akhir –akhir ini,
banyak kalangan membicarakan masalah pajak. Hal ini terkait dengan kasus
korupsi yang terjadi di lingkungan Direkorat Pajak. Bagaimana
sebenarnya hukum pajak dalam kaca mata syariah ?
Pajak menurut
istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas
jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma
hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk
mencapai kesejahteraan umum.
Lembaga Pemerintah yang mengelola
perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan
Departemen Keuangan Republik Indonesia.( Wikipedia.org )
Dalam ajaran Islam pajak sering diistilahkan dengan adh-Dharibah yang
jama’nya adalah adh-Dharaib. Ulama – ulama dahulu menyebutnya juga
dengan al Muks. Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan
pajak atau adh-dharibah diantaranya adalah:
1. al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam )
2. al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh Negara )
3. al-Usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara Islam )
Pendapat Ulama Tentang Pajak
Kalau
kita perhatikan istilah-istilah di atas, kita dapatkan bahwa pajak
sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan
Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut
diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama berbeda pendapat di dalam
menyikapinya.
Pendapat Pertama : menyatakan pajak tidak boleh
sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah
dibebani kewajiban zakat. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan
dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda :
"Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat." (HR
Ibnu Majah, no 1779, di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah (Maimun),
menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist, dan menurut Imam
Bukhari : dia tidak cerdas )
Apalagi banyak dalil yang mengecam para pengambil pajak yang dhalim dan semena-mena, diantaranya adalah:
Pertama : Hadist Abdullah bin Buraidah dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
“Demi
dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah
benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh
seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni." (HR Muslim, no: 3208 )
Kedua: Hadist Uqbah bin ‘Amir, berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda :
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).“ ( HR Abu Daud, no : 2548, hadist ini dishohihkan oleh Imam al Hakim ) .
Dari
beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menyamakan pajak yang
dibebankan kepada kaum muslim secara dhalim sebagai perbuatan dosa
besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazmi di dalam Maratib al Ijma’
hlm : 141 :
“H'*ABH' #F 'DE1'5/ 'DEH6H9) DDE:'1E 9DI 'D71B H9F/
#(H'( 'DE/F HE' J$.0 AJ 'D#3H'B EF 'DECH3 9DI 'D3D9 'DE,DH() EF 'DE'1)
H'D*,'1 8DE 98JE H-1'E HA3B “
”Dan mereka (para ulama) telah
sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil
uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu
(gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam
bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang
sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang
(semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya)
haram dan fasik.”
Imam Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalam az- Zawajir ‘an iqtirafi al Kabair, Syekh Sidiq Hasan Khan di dalam ar-Rauda an-Nadiyah, Syek Syamsul al Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan lain-lainnya
Pendapat Kedua:
menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum Muslimin, jika memang
negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan
inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang
membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah
Imam Ghozali, Imam Syatibi dan Imam Ibnu Hazm.
Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais juga, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda :
"Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain zakat."
(HR Tirmidzi, no: 595 dan Darimi, no : 1581, di dalamnya ada rawi :
Abu Hamzah ( Maimun ), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if
hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas )
Syarat-syarat Pemungutan Pajak
Para
ulama yang membolehkan pemerintahan Islam memungut pajak dari umat
Islam, meletakkan beberapa syarat yang dipenuhi terlebih dahulu, di
antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama:
Negara benar-benar sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat
umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan
Negara yang sedang dirongrong oleh Negara musuh.
Kedua : Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al usyur, kecuali dari pajak.
Ketiga: Harus ada persetujuan dari alim ulama, para cendikiawan dan tokoh masyarakat.
Keempat:
Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari –orang kaya saja, dan
tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus
adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu atau
untuk kepenting an kampaye saja, apalagi tercemar unsur KKN atau
korupsi.
Kelima:
Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus,
tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting
atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
Keenam: Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja,
Ketujuh: Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.
Sebagian
besar syarat-syarat tersebut teringkas dalam peristiwa yang terjadi
pada zaman Imam Nawawi. Pada waktu itu terjadi penyerangan besar-besaran
pasukan Tartar kepada wilayah-wilayah kaum muslimin, hampir semua
wilayah kaum muslimin telah ditaklukan oleh pasukan Tatar.
Yang
berkuasa di Syam waktu itu adalah Sultan Zhahir Baibas. Beliau mengajak
para ulama untuk bermusyawarah dalam menghadapi pasukan Tatar, sedang
kas yang ada di Baitul Maal tidak mencukupi untuk biaya perang. Akhirnya
mereka menetapkan bahwa Negara akan memungut pajak kepada rakyat,
terutama yang kaya untuk membantu biaya perang.
Ternyata Imam
Nawawi tidak hadir dalam acara itu, sehingga menimbulkan tanda tanya
bagi Sultan itu. Maka akhirnya Imam Nawawi dipanggil. Sultan berkata
kepadanya “Berikan tanda tangan anda bersama para ulama lain”. Akan
tetapi Imam Nawawi tidak bersedia. Sultan menanyakan kepada Imam Nawawi “
kenapa tuan menolak ?”
Imam Nawawi berkata: “Saya mengetahui
bahwa Sultan dahulu adalah hamba sahaya dari Amir Banduqdar, anda tak
mempunyai apa – apa, lalu Allah memberikan kekayaan dan dijadikannya
Raja, saya dengar anda memiliki seribu orang hamba. Setiap hamba
mempunyai pakaian kebesaran dari emas dan andapun mempunyai 200 orang
jariah, setiap jariah mempunyai perhiasan. Apabila anda telah nafkahkan
itu semua, dan hamba itu hanya memakai kain wol saja sebagai gantinya,
demikian pula para jariah hanya memakai pakaian tanpa perhiasan, maka
saya berfatwa boleh memungut biaya dari rakyat.\"
Mendengar
pendapat Imam Nawawi ini, Sultan Zhahir pula sangat marah kepadanya dan
berkata: “Keluarlah dari negeriku Damaskus”. Imam Nawawi menjawab, “Saya
taat dan saya dengar perintah Sultan “, lalu pergilah ia ke kampung
Nawa d8 daerah Syam. Para ahli fiqh berkata kepada Sultan, “Beliau itu
adalah ulama besar, ikutan kami dan sahabat kami “. Lalu Imam Nawawi
diminta kembali ke Damaskus tetapi beliau menolak dan berkata: “Saya
tidak akan masuk Damaskus selagi Zhahir ada di sana”. Tak lama kemudian,
setelah satu bulan, Sultan pun mati. ( Imam Suyuti, Husnu al
Muhadharah : 2/ 66-67 )
Apakah pajak hari ini sesuai dengan Islam?
Apakah
pajak hari ini sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan ulama
atas ? maka jawabannya adalah tidak, hal itu dengan beberapa sebab :
1.
Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan
barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak
langsung akan membebani rakyat kecil
2. Hasil pajak hari ini
dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat,
tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan
rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan
sejenisnya, bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang
diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti
untuk pembiayaan pemilu, pilkada, renovasi rumah DPR, pembelian mobil
mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.
3. Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.
4. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
5. Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.
6.
Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal
sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak
diolah dengan baik, bahkan malah diberikan kepada perusahan asing, yang
sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan
Negara dan rakyat.
Perbedaan antara Zakat dan Pajak
Banyak
kalangan yang menyamakan secara mutlak antara zakat dan pajak, padahal
sebenarnya antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat menyolok,
diantara perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama
(dari sisi nama ), zakat berarti : bersih, tumbuh, berkembang, dan
berkah. Sedang pajak berarti : beban atu upeti yang harus dibayarkan.
Kedua, (dari
sisi dasar hukum), zakat ditetapkan berdasarkan ayat-ayat Al Qur'an dan
hadist-hadits Rasulullah saw yang bersifat tegas dan qath\'I, orang
yang menolak untuk membayarkannya secara sengaja, wajib diperangi dan
sebagian ulama menghukuminya dengan kafir. Sedang pajak ketetapannya
bersifat ijtihad para ulama atau bahkan hanya keputusan dari para
pejabat untuk kepentingan Negara atau untuk kepentingan mereka sendiri.
Ketiga,
(dari sisi waktu ), zakat berlaku sepanjang masa sampai hari kiamat,
sehingga kewajibannya bersifat tetap dan terus-menerus. Sedang pajak
ketetapannya bersifat sementara, tergantung kepada kebutuhan negara.
Keempat,
(dari sisi obyek dan pemanfaatan ), zakat kadarnya baku dan tetap
berdasarkan hadist-hadist shahih, dan obyeknya-pun tertentu, tidak semua
barang wajib dizakati, serta pemanfaatan dan penggunaannya tidak boleh
keluar dari delapan golongan yang ditetapkan di dalam Qs At Taubah,
ayat: 60. Sedang pajak kadar dan aturan pemungutannya sangat tergantung
kepada aturan yang ditetapkan oleh Negara. Hasil pajakpun bisa digunakan
pada seluruh sektor kehidupan ini, bahkan pada hal-hal yang sama sekali
tidak ada kaitannya dengan kepentingan umum.
Dr. Ahmad Zain An Najah, MA